ATAMBUA – Crossborder Music Festival Atambua 2019 hari pertama berlangsung meriah, Jumat (28/6). Penonton begitu menikmati aksi panggung bintang tamu asal Timor Leste, Gerson. Bagi penyanyi satu ini, Atambua adalah wilayah yang menyimpan keindahan alam nan eksotis.

Menurut Gerson, ada destinasi menarik yang sayang dilewatkan saat berada di Atambua. Yaitu padang rumput savana Fulan Fehan yang berada di lereng Gunung Lakaan. Ia sendiri mengaku sangat terpikat dengan Fulan Fehan.

“Jaraknya tidak jauh kok dari Atambua. Di tempat ini, sapi dan kuda digembalakan dengan liar. Dari salah satu spot di pinggir tebing, pengunjung bisa melihat hampir seluruh wilayah Kabupaten Belu. Bahkan dari kejauhan, terlihat pula pegunungan. Ah, pokoknya keren banget,” ungkapnya.

Gerson mengajak kepada siapapun penggemarnya untuk segera mengunjungi Atambua. Karena kota yang merupakan bagian dari Kabupaten Belu itu sangat eksotis. Gerson juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pariwisata (Kemenpar) yang telah mengundangnya di acara yang super heboh tersebut. “Kita saling bersaudara, dan budaya kita sama. Jadi silahkan saling bersilaturahmi antarnegara. Terima kasih Kemenpar yang membuat acara meriah terus di Atambua,”kata Gerson.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Belu, Remigius Asa setuju dengan pendapat Gerson. Dia meminta untuk silahkan membuktikan ucapan artis asal Timor Leste itu.
Yang lebih menarik, terdapat sebuah benteng kecil bernama Benteng Kikit Gewen. Letaknya tepat berada di pinggir tebing. Benteng ini terbuat dari batu-batu alami yang disusun seperti pagar setinggi dada.

“Dulu, benteng ini merupakan tempat para pahlawan, atau biasa disebut Meo. Di benteng ini, mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh sebelum maju ke medan perang,” ujarnya.

Kadis mengatakan, selain terdapat Benteng Kikit Gewen, ada juga benteng lain yaitu Ranu Hitu. Ini merupakan benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu. Masyarakat setempat biasa menyebutnya sebagai Benteng Lapis 7. Fungsinya sebagai tempat pertahanan ketika masih marak terjadi perang antar suku.

“Benteng ini memiliki lapisan-lapisan pertahanan, mulai dari awal pintu masuk hingga ke titik terakhir. Di sana terdapat sebuah area bulat dari batu membentuk sebuah tempat pertemuan, yang dulu biasa digunakan para raja untuk berdiskusi dan mengatur strategi,” ucapnya.

Hingga saat ini, susunan bangku batu tempat pertemuan tersebut masih terlihat asli dan alami. Di tengah-tengahnya terdapat bongkahan batu besar dan kecil. Konon, bongkahan batu ini dulunya dipergunakan untuk menaruh kepala musuh yang sudah dipenggal.

Dari beberapa bangku batu yang ada, terdapat satu bangku yang posisinya lebih tinggi. Menurut masyarakat setempat, ini merupakan singgasana Raja Suku Uma Metan. Ada pula batu bulat pipih yang tergeletak sebagai alas duduk. Kabarnya, batu ini tidak boleh diduduki oleh siapapun. Bahkan sampai sekarang.

“Masyarakat Timor percaya, siapa pun yang menduduki bangku tersebut, akan mengalami nasib buruk atau tertimpa musibah. Selanjutnya di belakang bangku tersebut, terdapat sebuah batu persegi panjang yang merupakan makam Raja Dasi Manu Loeq. Yaitu raja pertama Kerajaan Dirun,” bebernya.

Yang lebih mencengangkan, mitosnya Benteng Ranu Hitu dibuat selama tujuh hari tujuh malam. Pada siang hari, pembuatan benteng dikerjakan dengan tenaga manusia. Sementara pada malam hari, dikerjakan oleh para arwah leluhur.

Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani mengatakan, beragam potensi pariwisata di Kabupaten Belu bisa ikut terangkat dengan adanya event Crossborder Music Festival Atambua 2019. Sebab, sebagian penonton biasanya tidak langsung pulang, tetapi ada juga yang memperpanjang masa kunjungannya.

“Mereka yang ingin menghabiskan akhir pekan di Belu, bisa diarahkan untuk mengeksplor destinasi-destinasi wisata yang ada di daerah setempat. Ini menjadi moment yang tepat bagi wisatawan untuk mengenal Belu lebih dalam,” ucapnya, diamini Asisten Deputi Pengembangan Pemasaran I Regional III, Muh. Ricky Fauziyani.

Menteri Pariwisata Arief Yahya menjelaskan, digelarnya Crossborder Music Festival Atambua 2019 tak lain dimaksudkan untuk menjaring wisatawan mancanegara. Khususnya dari Republik Demokrasi Timor Leste, terutama yang tinggal di daerah perbatasan.

Namun demikian, lanjut Arief, konsep crossborder tourism sebenarnya bukan semata untuk meningkatkan kunjungan wisman. Ada dampak positif lain yang diharapkan mampu dirasakan warga setempat. Yaitu hidupnya perekonomian di wilayah sekitar.

“Dengan adanya event ini, bisa dipastikan banyak pedagang yang ambil bagian untuk mencari keuntungan. Dari kerajinan, kuliner, hingga kebutuhan lain. Wisman datang menonton dan belanja. Artinya, ada perputaran ekonomi secara langsung di sini,” pungkasnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here