SUNGAILIAT – Warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Bangka, dikenal sering merantau hingga mancanegara. Mereka akan kembali ke Bangka saat perayaan Ceng Beng atau ziarah kubur setiap 5 April. Ceng Beng juga menjadi rangkaian kegiatan Bangka Culture Wave (BCW) 2019. Di event ini mereka semua bereuni dengan keluarga besarnya.

Staf Ahli Menteri Bidang Multikultural Kemenpar Esthy Reko Astuty mengatakan, banyak marga keturunan Tionghoa berkumpul di saat seperti ini.

“BCW 2019 menjadi atraksi terbaik selama Ceng Beng. Warga perantauan yang kembali ke Bangka bisa berkumpul di BCW. Mereka bisa bereuni dengan warga lainnya dari marga berbeda. Hal ini tentu sesuai dengan tema BCW 2019 sebagai Home Coming,” kata Esthy, Rabu (3/4).

Bangka memiliki banyak marga keturunan Tionghoa. Dari sekian banyak marga, ada 15 kelompok besar. Sebut saja Marga Bun, Liu, Chin, Ng, Ho, dan Lim. Ada juga Marga Thong, Chong, Jong, hingga Bong. Untuk lainnya ada juga Marga Phang, Chai, Lie, Chang, dan Cung.

Esthy menambahkan, budaya Tionghoa menjadi warna lain dari BCW 2019.

“Budaya yang ditampikan di BCW 2019 sangat lengkap. Budaya Tionghoa, dimunculkan melalui Barongsai. Kehadiran marga-marga keturuhan Tionghoa semakin menambah kekayaan BCW ini. Apalagi, mereka memiliki story yang menginspirasi,” lanjutnya.

BCW 2019 juga mengurai marga-marga besar di Bangka. Sebut Marga Bun yang dinilai banyak melahirkan cendekiawan. Dalam sejarahnya, marga ini berasal dari Tze Ciang yang hijrah ke selatan Tiongkok khususnya Fu Cian dan Kwang Tung. Ada juga Marga Liu yang memiliki figur besar Dinasti Han melalui Kaisar Liu Bang.

BCW 2019 juga mengenalkan Marga Lim yang banyak melahirkan sastrawan besar. Bangka juga familiar dengan Marga Bong. Marga ini berasal dari Provinsi Hu Bei lalu bergerak menuju Tiongkok Tenggara. Ada provinsi yang dituju, seperti Fu Cien, Kwangtung, dan Kwang Xi. Dengan kecerdasannya, marga ini didominasi para ilmuwan dan penemu ilmu pengetahuan baru.

“Marga-marga ini memiliki figur dengan peranan penting di masa silam. Mereka kuat menghiasi sejarah kekaisaran di Tiongkok. Menariknya lagi, mereka juga ikut membangun dan mengembangkan Bangka,” papar Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani.

Teori marga ini sebenarnya sangat menarik untuk dikaji. Konsep ini sudah muncul dari 8.000 tahun yang lalu. Waktu itu, marga didasarkan kepada matrilineal. Ada 2 marga, yaitu Xing dan Shi. Model marga ini lalu berkembang pesat dalam era Dinasti Han. Dinasti Han mulai memberlakukan 2 nama, yaitu marga dan karakter pribadi. Baru pada zaman Dinasti Jin orang menggunakan 3 nama karakter.

“Pada bumi belahan manapun, nama menjadi sangat penting. Selain pribadi, nama juga menjadi tanda kelompok sekaligus hubungan kekerabatan. Marga-marga ini membuat BCW 2019 semakin unik,” kata Asdep Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional I Kemenpar Dessy Ruhati didampingi Kabid Pengembangan Pemasaran Area II Asdep Pengembangan Pemasaran I Regional I Kemenpar Trindiana M Tikupasang.

Pada perkembangan marga, konsepnya mengalami perkembangan. Pada zaman dahulu, marga memiliki tingkatannya. Konsep kental berlaku pada masa Dinasti Jin. Sistem marga ini berkaitan dengan konsep feodalisme yang sempat mengakar di Tiongkok.

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan, masyarakat bisa belajar konsep sosial dalam masyarakat keturunan Tionghoa di Bangka.

“Konsep marga dalam masyarakat keturunan Tionghoa di Bangka bisa menjadi pengetahuan. Sebab, hal ini tidak banyak diketahui khususnya bagi wisatawan dari luar Bangka. Dengan beragam keunikannya, BCW 2019 ini merupakan destinasi terbaik. Atraksinya, aksesibilitas, dan amenitasnya luar biasa,” tutup Menpar. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here