www.INDONESIATRAVEL.NEWS, PROBOLINGGO – Memanfaatkan waktu reses, Anggota DPR RI Fraksi Golkar Misbakhun membaur dengan masyarakat untuk menyerap aspirasi. Dialog dilakukan dengan petani tembakau di Kabupaten Probolinggo. Menjadi Anggota Pansus RUU Pertembakauan, regulasi baru diharapkan berpihak kepada para petani.

“Tidak ada waktu untuk bersantai. Aktivitas tetap normal, meski posisi reses. Justru ini jadi kesempatan saya berdialog dengan masyarakat, khususnya para petani tembakau. RUU Pertembakauan ini harus melindungi para petani. Memberikan kesejahteraan kepada mereka dengan berbagai kemudahan akses sarana produksi pertaniannya,” kata Misbakhun, Kamis (9/8).

Menjadi anggota DPR RI periode , Misbakhun pun menyambangi petani tembakau di wilayah Jawa Timur. Tepatnya para Kelompok Tani Sumber Karang di Desa Gondo Sulih, Kecamatan Pekuniran, Kabupaten Probolinggo. Tujuannya untuk menyerap aspirasi para petani agar mendapatkan hak hidup lebih baik melalui tembakau.

Ada banyak komponen yang harus diperjuangkan dari petani tembakau. Yaitu, harga panen yang tetap terjaga dan petani tidak terjebak dengan tengkulak. Petani juga harus mendapat akses bibit tembakau yang unggul plus pupuk memadai dengan harga terjangkau. Misbakhun mengungkapkan, tembakau ini memiliki nilai ekonomi tinggi dan berdampak besar terhadap kesejahteraan petani.

“Hak hidup lebih baik para petani tembakau harus diperjuangkan. Tembakau memiliki nilai ekonomi tinggi. Kalau dioptimalkan tentu akan menaikan kesejahteraan petani. Untuk itu, piranti pendukungnya harus disiapkan lebih baik. Contohnya, akses bibit unggul dan pupuk. Berbagai kemudahan pun harus diberikan kepada mereka,” ungkapnya lagi.

Selama berada di Desa Gondo Sulih, dialog pun dilakukan dengan beberapa petani tembakau seperti Samidjan. Pria dengan 2 anak dan 3 cucu ini berstatus petani tembakau sewa lahan. Saat ini lahan yang disewanya berupa 3 petak sawah dengan masing-msing luasan 2.000 meter. Berprofesi sebagai petani tembakau selama 38 tahun, namun statusnya tidak berubah lantaran tidak memiliki lahan sendiri.

“Ada banyak petani yang bernasib seperti Pak Samidjan. Dedikasi hidupnya untuk pertanian tembakau, tapi kesejahteraannya tidak seperti yang diharapkan. Statusnya masih sebagai petani penyewa lahan. Ini pasti ada sesuatu yang berjalan seperti seharusnya,” kata Misbakhun.

Nasib berbeda dimiliki Alwan Fathoni atau akrab disapa Inthon. Menggantungkan hidup sebagai petani tembakau, Inthon berhasil mengantarkan anaknya ke jenjang pendidikan sarjana Sastra Inggris di salah satu universitas swasta di Probolinggo. Namun, kehidupan Inthon sangat sederhana. Rumahnya beratap genteng tanpa plafon, lalu lantai rumahnya berupa batu bata yang terkelupas dan tanpa lapisan semen.

Meski demikian, dilantai rumah Inthon terdapat tumpukan daun tembakau. Daun-daun tersebut harus diinapkan selama 3 hari 2 malam untuk mendapatkan hasil terbaik sebelum dirajang. Setelah proses perajangan, tembakau lalu dijemur minimal 2 hari sebelum dijual kepada pedagang tembakau rajangan. Setelah melalui para tengkulak, daun tembakau rajangan baru dijual ke gudang pabrik rokok.

“Kehidupan Pak Inthon memang terlihat damai. Anaknya berhasil lulus sarjana, lalu yang kedua masuk pesantren. Kami berharap ada perubahan ekonomi yang signifikan di masa mendatang. Semoga cuaca di sini selalu bagus, tanahnya subur, pasokan air cukup, dan dijauhkan dari hama. Dengan potensi yang dimilikinya, para petani tembakau ini sebenarnya bisa mendapatkan penghidupan lebih baik,” jelasnya.

Menjadi urat nadi ekonomi masyarakat, proses pengeringan tembakau juga menjadi ladang inkam yang cukup menggiurkan. Dikeringkan dengan bidig bambu berukuran 1 m x 90 cm, setiap buruh mendapat inkam Rp1.000 per bidik dari aktivitas penjemuran ini. “Tembakau benar-benar menjadi sumber hidup masyarakat di sana. Proses penjemuran tembakau saja sudah bisa menghidupi keluarga,” tegasnya.

Selain proses produksi, Misbakhun juga bertemu dengan para pedagang tembakau rajangan. Sebab, pedagang tembakau rajangan ini menjadi bagian mata rantai bisnis tembakau. Mengacu figur Samsudin, pedagang berusia 36 tahun tersebut bisa menjual daun tembakau rajangan yang sudah dijemur 2-3 hari langsung ke pabrik rokok.

Hasilnya, Samsudin setiap minggu mampu menjual 10 ton tembakau rajangan dengan inkam Rp30 juta hingga Rp36 juta.  Memiliki inkam besar, namun Samsudin masih dibelit problem. Sebab, pabrik selalu mengambil sampel antara 1-1,5 kg per bal. Untuk mesiasatinya, pedagang memberi beban sampel ini kepada petani dengan berat kisaran 2 kg dengan nilai Rp60 ribu hingga Rp75 ribu.

“Kami tentu gembira mendengar pedapatan besar para pedagang. Tapi, ternyata mereka mengeluh soal sampel per bal yang diambil oleh pabrik. Masalahnya, sampel ini pada akhirnya dibebankan pada para petani. Artinya ada inkam mereka yang hilang Rp60 ribu sampai Rp75 ribu per balnya. Jumlah ini tentu besar bagi para petani,” pungkasnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here