BALI – Tradisi melukat menjadi prosesi penting yang dilakukan oleh umat Hindu Bali, bertujuan untuk membersihkan jiwa serta pikiran. Prosesi melukat biasanya dilakukan di pura-pura. Di Kabupaten Tabanan, Anda bakal menemukan Pura Pucak Watu Geni yang sering dipilih sebagai tempat untuk melukat. Pura ini punya keunikan yang tidak dipunyai oleh pura lain. Seperti yang cerita yang didapat seorang sesepuh, I Ketut Tantra. Pamangku Pura Dalem Purwa Desa Pakraman Seribupati ini berkisah, bahwa tahun 1906, penguasa Kerajaan Belayu, Kecamatan Marga, I Gusti Gede Oka, sempat datang bersama ratusan abdi dari berbagai desa, seperti warga Desa Jadi, Belayu, Kuwum, Kukuh, dan Telanbawak, ke sebelah timur wilayah kekuasaannya.

Kawasan yang dituju masih berupa hutan perawan yang ditumbuhi semak serta pepohonan besar. Rombongan Kerajaan Belayu tersebut hendak memperluas wilayah tempat tinggal warga yang berada di bawah kekuasaannya.

Bagai kisah perjalanan Rsi Markandeya, Mpu dari Jawa Timur, saat pertama kali mengadakan perabasan hutan di Besakih, kedatangan Raja Belayu bersama pasukan pertama kali ke hutan dimaksud ternyata gagal mengadakan pembabatan hutan. Para pengikutnya tiba-tiba terserang semut api (semut merah) cukup banyak hingga tak sanggup lagi menunaikan tugas-tugasnya. Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, Raja Belayu memerintahkan para warga kembali lagi ke desa masing-masing.

Menyerah? Belum ternyata. Penguasa Puri Belayu kembali datang ke alas tadi. Kedatangan yang kedua kali juga disertai pengikut cukup banyak. Di antara pengikut itu bernama I Wayan Ngiring alias Pan Kayun,—Pan Kayun kelak jadi kakek dari Jero Mangku Dalem Purwa.
Sesuai rencana yakni membuka kembali lahan baru, maka perabasan pun dilakukan. Kali ini memang berhasil, tak lagi ada semut merah yang mengganggu.

Tiba di satu tempat yang cukup tinggi para perabas hutan dikejutkan oleh penemuan benda berupa batu yang bertumpuk. Sedangkan di sekitarnya tumbuh pohon andong bang (merah) dan kayu pule cukup besar. Orang-orang yang hadir saat itu, termasuk kakek Jero Mangku Dalem Purwa meyakini lokasi tadi merupakan tempat suci. Mereka tak berani mengganggu. Sebaliknya, di tempat itu kemudian didirikan sanggar agung sebagai tanda tempat suci. Kawasan suci itulah kemudian disebut Pura Hyang Api. Nama Hyang Api muncul, mengingat pertama kali pasukan Belayu datang dan hendak mengadakan perabasan hutan, ternyata diserang semut api.

Pasca perluasan lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, mulailah orang-orang menempati wilayah yang kelak dinamakan Desa Adat Seribupati. Saban waktu mereka hadir ke Pura Hyang Api memohon karahayuan dan keselamatan. “Itulah cerita yang saya tami (wariskan) sampai kini,” lanjut Jero Mangku Tantra.

Setelah mendekati setengah abad, sekitar tahun 1950-an, nama Hyang Api diganti menjadi Pura Luhur Pucak Geni. Pergantian dilakukan berdasarkan atas pamuus Ida Batara yang disampaikan langsung oleh Jero Dasaran.

Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf/Baparekraf, Hari Santosa Sungkari menerangkan, Pura Pucak Geni Tabanan telah menjelma menjadi destinasi wisata. Salah satu syaratnya adalah adanya atraksi di destinasi tersebut. “Keunikan di pura ini menjadi daya tarik obyek wisata. Pura Pucak Watu Geni ini tak hanya sekadar sarana ibadah umat Hindu, tetapi menjadi obyek wisata yang menarik bagi wisatawan,” kata Hari Sungkari.

Ia melanjutkan, sebagai obyek wisata budaya dan spiritual, Pura Pucak Watu Geni amat mudah dijangkau oleh wisatawan. Artinya, dari aspek atraksi, aksesibilitas dan amenitas, Pura Pucak Watu Geni amat memenuhinya. Saat ini yang diperlukan adalah sosialisasi massif terhadap keberadaan Pura Pucak Watu Geni.

“Penyebarluasan informasi mengenai pura ini perlu untuk terus digalakkan. Potensinya cukup besar untuk menarik minat wisatawan berkunjung,” kata Hari Sungkari. Di sisi lain, Direktur Pengembangan Destinasi Regional II Kemenparekraf/Baparekraf, Wawan Gunawan menambahkan, sebagai sebuah destinasi Pura Pucak Watu Geni juga telah memenuhi standar protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environmental Sustainable).

Sebagaimana diketahui, pandemi COVID-19 mengubah permintaan dan pola perjalanan wisatawan ke destinasi wisata. “Saat ini, aspek kesehatan dan keselamatan juga menjadi bagian penting yang diperhatikan oleh wisatawan sebelum mengunjungi destinasi wisata. Kita lihat secara detail, Pura Pucak Watu Geni ini telah memenuhi standar protokol kesehatan berbasis CHSE,” katanya.

Dikatakannya, Kemenparekraf/Baparekraf terus berupaya untuk membangkitkan kembali destinasi wisata yang terdampak COVID-19. Tak dipungkiri, pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak COVID-19. “Kemenparekraf/Baparekraf terus berupaya membangkitkan kembali sektor pariwisata. Salah satunya dengan memberi jaminan kepada wisatawan bahwa destinasi wisata yang dituju telah aman dan nyaman karena telah tersertifikasi CHSE,” tutur dia.(***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here