JAKARTA – Tampang H. Sahani Saleh, S.Sos, Bupati Belitung dua periode itu tidak seperti biasanya. Sedikit lesu, seakan kurang bergairah, tidak banyak membuka cerita, sore itu, 19 Mei 2019, menjelang buka puasa di Bekasi. Tak banyak tawa, pelit canda, bahkan senyum pun terasa mahal. Seperti ada yang mengganjal di benaknya.

Ada apa Pak Sahani? Tanpa basa-basi, Bupati Belitung yang sangat lugas itu pun menjawab: tiket masih mahal! “Penerbangan ke Belitung turun drastis, dulu 13 flights landing setiap hari, kini tinggal 9 flights. Alasannya: tidak ada penumpang? Mengapa sepi penumpang, karena tarif tiket pesawat mahal sekali, sudah diturunkan Tariff Batas Atas (TBA) pun jatuhnya masih mahal,” keluh Sahani Saleh.

Dengan terbata-bata, Sahani menceritakan, hampir setiap hari dirinya menerima keluhan dari para pelaku usaha dan industri Pariwisata. Baik yang bergerak di bidang atraksi, akses maupun amenitas. “Semua ikut lesu. Hotel, restoran, paket wisata, transportasi lokal, pedagang souvenir, penjual oleh-oleh, pengrajin, nelayan, pasar tradisional, semua terdampak. Sedih saya,” aku Bupati Belitung Negeri Laskar Pelangi itu.

Sahani menjelaskan dulu, sebelum industri pariwisata berkembang, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Belitung hanya Rp 70M setahun. Sekarang sudah Rp 310M setahun. “Masyarakat happy, pertambangan yang merusak alam berhenti. Warna mulai senang berbisnis di service dan pariwisata. Sekarang mereka giliran bertanya kepada saya, mengapa tiket pesawat tidak turun-turun? Kalau dulu bisa murah, terjangkau, mengapa sekarang mahal?” kata Suhani, menirukan industri dan warga yang dia pimpin.

“Saya sudah komunikasi dengan Chandra Lie, pemilik Sriwijaya Air dan NAM Air. Tetapi, sekarang pemegang sahamnya sudah dikuasai Garuda Indonesia, karena itu dia juga tidak punya daya. Saya akan tanyakan ke Kemenhub juga, nasib Pariwisata di luar pulau Jawa yang tidak bisa jalan darat langsung akan semakin sulit,” ungkap Suhani.

Keluhan Bupati Belitung Suhani ini hanyalah satu dari banyak destinasi wisata pulau-pulau yang harus dijangkau dengan pesawat. Bali, Lombok, Sumbawa, Labuan Bajo, Wakatobi, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, Kalimantan, semua hampir pasti terkena imbas tarif mahal tiket itu. “Saya juga sudah sampaikan ke Pak Menpar Arief Yahya, beliau berpesan agar tetap optimis,” kata Bupati Suhani.

Yang dia heran, sebagai masyarakat awam, mengapa kok naik bisa 100% bahkan lebih? Mengapa kok tidak bisa turun, dan bahkan seolah tidak mau turun? Mengapa tahun-tahun sebelumnya harganya bisa normal dan terjangkau? Mengapa kesannya Pemerintah tidak kompak? Satu pihak ingin menghidupkan industri pariwisata dengan tiket terjangkau. Di pihak lain, ingin industri airlines mendapat laba besar dengan menaikkan revenue dari ticketing?

Pertanyaan itu juga sama dipikirkan dan dirasakan banyak orang di tanah air. Saking bosannya bertanya, mereka pun mengubah kebiasaan. Mengurangi perjalanan, mengurangi piknik, menghindari pergerakan, memilih jalur darat, yang terjangkau, agar penerbangan yang masih konsisten dengan harga ekonomis.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengkonfirmasi bahwa jumlah penumpang angkutan udara pada Maret 2019 merosot tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu, 2018. Dari data yang dirilis, jumlah penumpang penerbangan domestik Maret 2019 hanya sebesar 6,03 juta. Bandingkan dengan tahun 2018 lalu, yang sudah tembus 7,73 juta, atau turun 21,94 persen.

Secara komulatif, pertumbuhan jumlah penumpang pesawat domestik merosot 17,66 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi 18,32 juta. Hal itu disampaikan Kepala BPS Suhariyanto di beberapa media, bahwa penurunan jumlah penumpang tersebut dipicu oleh kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi dalam sejak Januari 2019.

Sektor Pariwisata tentu paling “tertekan” oleh tiket mahal itu. Tingkat hunian kamar hotel berbintang pada Maret 2019 hanya sebesar 52,89 persen atau turun 4,21 poin dibandingkan Maret 2018, yang mencapai 57,1 persen.

Menpar Arief Yahya juga ikut bersimpati dengan kegigihan Bupati Belitung Suhani mencari cara agar harga tiket bisa normal, seperti dulu lagi. Dia sudah curhat soal tiket mahal ini ke Kementerian Perhubungan, dan sudah dilakukan pendekatan ke airlines. Tetapi upaya itu tidak mendapatkan hasil, maka keluarlah regulasi baru, 16 Mei 2019, Keputusan Menteri Perhubungan No 106 Tahun 2019 soal Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri.

Menurut Judi Rifajantoro, Staf Khusus Menpar Bidang Infrastruktur dan Aksesibilitas menjelaskan bahwa Kemenhub hanya bisa mengantur sampai pada Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Perusahaan maskapailah yang akhirnya membuat berbagai variasi harga, berdasarkan season, waktu, dan demand. Tujuannya untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, saling banting harga di level harga rendah. Juga untuk mengindari harga yang terlalu tinggi, ketika peak season.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dengan kenaikan tarif tiket pesawat yang mendadak, dan langsung tinggi itu? Harga yang dirasakan oleh masyarakat selama ini, *sebelum kenaikan akhir tahun 2019 yang lalu*, adalah harga di tengah-tengah antara TBA dan TBB. Di kisaran 45% sampai 65% (average 50%) dari Tarif Batas Atas. Dan itu sudah berjalan sekian lama dan menjadi harga psikologis buat masyarakat.

Misalnya, dari kota A ke kota B, selama ini dibandrol dengan harga Rp 1 juta. Inilah yang disebut sebagai harga normal, harga psikologis. Meskipun sebenarnya, harga itu hanya 50% dari Tarif Batas Atas (TBA)-nya. Kalau peak season, harga bisa naik hingga Rp 2 juta, atau menjadi 100% dari harga normal. Sedangnya di saat low season harganya turun lagi menjadi Rp 1 juta. Ini mekanisme pasar biasa, harga menyesuaikan demand and supply.

Yang terjadi, sejak awal Januari 2019, ketika sudah melewati peak season Liburan Natal 2018 dan Tahun Baru 2019, tiket pesawat masih mahal. Tiket tidak turun, padahal sudah bukan peak season, situasi sudah normal. Harga masih tidak normal, harga masih menyentuh angka psikologis. Harga masih di Tarif Batas Atas maksimal. Inilah yang diprotes oleh masyarakat, karena jatuhnya mahal sekali.

Buat perusahaan maskapai, mereka tidak salah, tidak menabrak peraturan Menteri Perhubungan. Karena masih dalam range TBA dan TBB. Tetapi dari harga normal, harga psikologis, harga biasa Rp 1 juta, terus masih bertahan di Rp 2 juta, sudah pasti membuat gejolak di masyarakat. Hanya tidak lazim saja, selalu menaruh di angka tertinggi TBA.

Kemenhub sudah menurunkan TBA, antara 12-16%, atau average 15%. Maskapai menghitung dari harga yang sudah tinggi, harga TBA yang sudah menjadi 200% *dari harga normal yang dipersepsikan masyarakat*, maka harga masih dirasakan mahal. “Kalau Full Service Carrier 100%, maka Medium Service Carrier 90%, dan Low Cost Carrier 85%.

“Itu berarti, semua mengikuti aturan menurunkan batas atasnya. Maka, maskapai masing-masing kelompok layanan akan menurunkan tariff rata-rata 15% dari TBA maksimumnya masing-masing. Sehingga masyarakat penumpang akan merasakan penurunan yang kurang lebih sama, yaitu 15%” jelas Judi Rifajantoro. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here