www.INDONESIATRAVEL.NEWS– Bencana gempa dan tsunami yang datang secara tiba-tiba di Palu, membuat personel media Tim Liputan GenPI Kurniawan Widianto terpisah dari rombongan. Dalam situasi panik tersebut, ia hanya berpikir cara menyelamatkan diri. Tanpa pernah tahu kemana rekan-rekannya pergi.

“Bingung mau kemana, siapa yang harus kuhubungi. Komunikasi putus. Sinyal blank. SMS Pak Khun (Ang Tek Khun) GenPI, Agus (kakak), dan adikku Lia beberapa kali masuk. Dan sempat ku balas. Namun setiap instruksi yang mereka berikan, selalu telat. Karena sinyal yang tak bersahabat,” kenangnya, Kamis (4/10).

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba ada seorang pria paruh baya dengan logat sunda yang khas menyapa. “Bang masih punya rokok?” ucapnya. Karena masih memiliki sebatang, rokok yang dipegangnya pun diberikan.

Dari situ, Kurniawan Widianto yang biasa disapa Widi, mengenal sosok Mang Hendrik. Ia adalah peserta Festival Palu Nomoni asal Banten yang juga terdampar di Palu. Mang Hendrik pula yang mengenalkan Widi ke Dewan Adat Indonesia. Dewan ini diundang untuk menghadiri festival.

“Ini keluarga baru ku di tengah bencana Palu. Kami makan seadanya. Jangan harap mendapat nasi, mendapat roti kecil saja sudah alhamdulillah. Terkadang roti kecil itu pun harus dibagi 2 biar semua makan. Satu makan, semua harus makan,” kata Widi menceritakan kedekatannya dengan Mang Hendrik.

Hampir 3 hari, Widi dan Mang Hendrik hanya makan biskuit dan sedikit roti untuk bisa bertahan. Sebab, bantuan belum masuk. Pedagang makanan tak ada. Mau antri barisan untuk masuk bandara selalu gagal. Karena prioritas evakuasi hanya untuk manula, anak-anak, wanita dan yang cedera.

Dalam situasi mencekam itu, Widi, Mang Hendrik, dan korban lainnya harus tidur di tanah lapang. Trauma dan rasa khawatir gempa akan kembali datang menghantui mereka. Apalagi, gempa memang tak pernah berhenti mengguncang Palu. Meski tidak terlalu besar, tapi kekhawatiran tetap ada. Apalagi banyak bangunan yang mulai retak. Bahkan ketika hujan tiba, kaki Widi dan korban tetap harus berada di luar bangunan. Sebagai antisipasi agar dapat segera berlari jika gempa datang.

Menjelang tengah malam, Mang Hendrik mengajak makan. Ia mengajak ke rumah saudaranya Pak Jumrad, Dewan Adat Kabupaten Mombana. Jarak rumahnya, kira-kira 2 km dari lokasi evakuasi. “Wah mau Mang,” jawabku secepat kilat. Maklum 3 hari lambung ini tak kena nasi.

Dengan langkah gontai, Widi dan Mang Hendrik berjalan menyusuri menuju rumah Pak Ridwan, saudara sepupu dari Pak Jumrad. Rumah beliau Ada di jalan Abdul Rachman Salah, Lorong Tumapel Kota Palu.

“Sambutan hangat begitu terasa begitu kami sampai. Air minum hingga makan malam pun telah disiapkan sang tuan rumah. Menu makan malamnya sederhana. Nasi putih, sayur kelor, dan sambel orek ikan asin. Namun soal rasa tak terbantahkan. Bahkan mungkin ini makan malam ternikmat yang kami rasakan. Lahap kami menyantap hidangan yang disediakan. Kami pun juga disediakan kopi dan teh oleh tuan rumah,” tuturnya.

Selesai ngopi dan ngobrol kami pun terlelap tidur. Namun, kondisi trauma membuat Widi sulit untuk tidur. Tengah malam, Widi menerima pesan singkat dari adiknya Lia. Isinya, ia diminta untuk segera ke bandara. Sebab, ada tim dari Kemenaker yang juga akan kembali ke Jakarta. Mereka menunggu Widi di bandara.

Sekitar pukul 4 pagi, Widi dan rekannya di rumah Pak Ridwan terbangun. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Dengan 1 motor, saudara Pak Jumrad ini mengantar mereka bolak balik ke bandara.

“Kali ini, pintu gerbang bandara tidak dikunci seperti biasanya. Ribuan orang menyemut di dalamnya. Aku langsung mencari kontak yang diberikan adikku. Setelah bertemu. Kami disuruh menunggu. Dan dugaan ku benar. Kami tidak mendapat prioritas untuk evakuasi. Bahkan, kami disuruh masuk ke dalam barisan pengungsi lainnya di bawah terik matahari,” kenangnya.

Untuk menghindari panas, Widi menutup kepala dengan kemeja yang ia pakai. Tapi, tetap tak bisa menahan panas yang menghantam. Ia pun menyerah. Berdiri ku dan bersiap mencari tempat berteduh. Namun, ia justru kehilangan kontak dengan dari orang Kemenaker.

“Aku pun berkeliling sambil mencari Tim Kemenaker. Hasilnya nol besar. Kontak HP-nya pun mati. Wah aku ditinggal,” kata Widi sambil tertawa.

Hari pun semakin panas. Pesawat Hercules yang hilir mudik sepertinya tak cukup mengangkut ribuan orang yang ada di area bandara. Lagi-Lagi ia menyerah. Teman-teman Dewan Adat pun tak juga dijumpai. Widi akhirnya mengambil pilihan untuk keluar dan mengantri di penerbangan komersial.

“Maklum, aku masih memegang tiket untuk penerbangan tanggal 1 Oktober. Tiket Itu dikirimkan Tim dari Jakarta sehari sebelumnya. Tiket dikirim karena pihak bandara mengatakan bandara akan melayani penerbangan komersial mulai 1 October. Lagi-Lagi nol besar yang ku dapat. Pihak maskapai tak ada satu pun yang menemui kami. Lelah, bingung, sedih aku pun kembali ke rumah Pak Ridwan. Untuk istirahat,” katanya.

Buat Widi, Pak Ridwan adalah sosok luar biasa. Pintu rumahnya selalu terbuka dan siap menyambut Widi. Dan seperti sebelumnya, air dan berbagai hidangan telah disiapkan Pak Ridwan. “Luar biasa mulianya Pak Ridwan. Padahal saat Itu belum ada bantuan yang datang,” katanya.

Ada satu kutipan dari Pak Ridwan yang akan dikenang oleh Widi. Isinya, ‘Pesan Rasul tamu Itu harus dimuliakan’. Kalimat singkat yang sangat bermakna. Ini juga menjadi cermin keramahan keluarga Ridwan.

“Saya terharu sekali. Sebab, saya tahu beliau sekeluarga juga korban. Tetapi masih bisa berbagi dengan sesama. Benar-benar keluarga yang luar biasa,” kata Widi.

Menteri Pariwisata Arief Yahya, mengatakan ada pelajaran berharga yang bisa didapat dari bencana ini. “Tidak perlu kita memaki. Percayakan saja semua kepada Allah. Intinya, kita harus Sabar, Syukur dan Shalat. Mengadulah kepada Allah SWT. Dan semua akan ditunjukkan jalan,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here