BANYUWANGI – Festival Lembah Ijen 2019 hadir kembali. Event ini digelar di Taman Gandrung Terakota, kawasan Jiwa Jawa Resort, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Sabtu 20 April 2019. Ada pertunjukan Sendratari Meras Gandrung, Jam Session bersama Bintang Indrianto & Denny Chasmala serta syukuran panen padi Slametan Pecel Pitik & Kebo-keboan.

Sendratari ini digelar setiap bulan sepanjang tahun mulai Januari 2019. Festival Lembah Ijen menceritakan prosesi penari untuk menjadi seorang gandrung profesional, yang tidak hanya menari tetapi juga piawai menjadi sinden.

Lokasi event, Taman Terakota, berdiri di atas hamparan sawah produktif seluas tiga hektare di lereng Gunung Ijen. Terdapat ratusan patung gandrung dari gerabah (terakota) yang diletakkan di sawah tanpa mengubah fungsi sawah. Di kawasan tersebut terdapat amphiteater dan sebuah panggung dari bambu yang menjadi pentas bagi penari.

Mengambil latar belakang jaman kolonial Belanda, atraksi ini berlangsung menarik. Dimainkan seniman asli Banyuwangi dari berbagai usia, mulai 7 hingga 60 tahun lebih ini, pertunjukan sendratari berhasil memikat penonton yang hadir.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Festival Lembah Ijen ini murni prakarsa kebudayaan yang dipersembahkan oleh masyarakat setempat. Selain untuk promosi kearifan lokal warga setempat.

“Festival ini juga untuk melestarikan kebudayaan Banyuwangi, terutama gandrung yang kini telah digandrungi masyarakat,” kata Menpar Arief Yahya.

Sementara itu, Sigit Pramono penggagas festival dan pemilik Jiwa Jawa Resort menjelaskan, event ini akan menjadi sebuah daya tarik baru pariwisata dan juga mencanangkan kawasan lembah Ijen sebagai kawasan pelestarian seni budaya Banyuwangi.

“Sekaligus mendukung kawasan ini menjadi sebuah situs geopark yang serasi antara alam dan manusia yang tinggal dan hidup di dalamnya,” kata Sigit.

Menurut Sigit, pementasan sendratari diagendakan lebih sering mulai dari sebulan sekali bisa menjadi seminggu sekali. Pertunjukan berikutnya digelar 18 Mei, 15 Juni, 20 Juli, 17 Agustus, 14 September, 12 Oktober, 16 November dan 14 Desember 2019.

“Animo masyarakat yang datang Gandrung Terakota dan menyaksikan sendratari mulai tumbuh, meski sendratari ini berbayar. Sejak Oktober 2018, sudah ada 10 ribu orang yang bertandang kemari,” jelas Sigit.

Bagi Sigit, ini sangat bagus bagi perkembangan kesenian daerah, yang menunjukkan masyarakat mulai menghargai seni daerah. Dampaknya juga akan kembali kepada pelaku seni.

“Seni tidak hanya sekedar untuk ditampilkan, namun seni juga harus menghidupi pelakunya. Dan di Banyuwangi ini sudah mulai berkembang,” kata Sigit.

Selain itu, rangkaian event lain dalam festival ini adalah klinik jazz yang menghadirkan musisi jazz nasional Bintang Indrianto. Bertajuk Road To Jazz Gunung Ijen, setiap bulan Bintang akan melatih pelajar SMA sekaligus mencari musisi jazz muda berbakat dari Banyuwangi.

Berbicara tentang Gandrung Terakota, Sigit menjelaskan, tempat ini konsepnya dengan pendekatan pembangunan kawasan. Situs Gandrung Terakota ini dibangun sebagai upaya merawat dan meruwat, salah satu identitas Banyuwangi, yakni Tari Gandrung.

“Jenis tarian ini mengalami pasang surut kehidupan yang dinamis. Bermula sebagai tari persembahan dari masyarakat agraris kepada Dewi Sri, yang juga dikenal sebagai Dewi Kesuburan atau Dewi Padi, menjadi tarian pergaulan, dan kemudian menjadi salah satu ikon kesenian Banyuwangi,” jelasnya.

Dia melanjutkan, seusai panen, masyarakat petani terbiasa bersukacita menari, menyanyi, dan lainnya) sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen. Bertolak dari kisah semacam itu, di kawasan persawahan ini dibangun situs Taman Gandrung Terakota (Terracotta Dancers) berupa ratusan patung terakota berwujud penari Gandrung, yang tersebar di sekitar persawahan.

Mengkreasi karya terakota berbentuk penari Gandrung, merupakan upaya merawat bumi. Suatu monumen kehidupan yang organik, yang memiliki narasi penting bagi masyarakat sekitarnya, ikon daerah, sekaligus berpotensi menginspirasi bagi banyak orang.

“Jika monumen yang sifatnya gigantik menjulang ke langit sudah dibangun di banyak tempat dan dianggap sebagai kelaziman, di situs ini justru kebalikannya. Di sini monumen ratusan patung tembikar itu lebih membumi,” tuturnya.

Seperti halnya praktek kebudayaan, berkarya terakota tidak bertujuan untuk menciptakan bentuk yang abadi atau kekal, karena memang bersifat ringkih, mudah retak, patah, atau bahkan hancur.

“Justru itulah makna dan nilai yang ditawarkan, kesenian dan ketidakabadian. Karena, yang abadi adalah proses, makna, dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa yang abadi adalah “siklus kehidupan”, terus-menerus berada dalam proses,” tuturnya.

Pembangunan kawasan ini sepenuhnya dalam kesadaran semacam itu, yakni membangun kawasan dan situs yang membawa manfaat, baik secara ekonomi, maupun dalam aspek budaya.

Hamparan sawah di sekitar situs, tetap dibiarkan berfungsi sebagai sawah, yang digarap oleh petani yang sama, masih dibajak dengan kerbau, dan masih ditanami padi. Hamparan sawah dan pepohonan di sekitarnya tetap dimuliakan dengan panggung kesenian, amfiteater, pertunjukan jazz, dan karya terakota penari Gandrung.

Di halaman depan pendopo, ada sebuah karya patung kerbau yang dipresentasikan secara urutan, dari sosok kerbau yang utuh, hingga bentuk sebagian badan kerbau yang terbenam dalam pangkuan bumi.

“Karya ini dimaksudkan sebagai refleksi kritis terhadap perubahan zaman, owahing jaman, kemajuan yang menggusur tradisi dan kearifan lokal,” jelas pria yang juga fotografer profesional ini.

Di sudut kanan amfiteater, ada sebuah instalasi seni Dewi Sri yang menitis menjadi penari Gandrung. Sebuah simbol siklus yang terbalik dari Gandrung memuja sang dewi yang immortal menjadi sang dewi yang memuliakan manusia dengan menitis ke raga manusia yang mortal.

“Inilah Taman Gandrung Terakota, sebuah “situs rawat ruwat” seni budaya, dalam suatu kawasan Jiwa Jawa Ijen,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here