NTT – Dinas Pariwisata Manggarai Barat memberikan klarifikasi terkait polemik pariwisata halal di Labuan Bajo. Dispar menyatakan sosialisasi yang dilakukan 30 April 2019 lalu adalah inisiatif mereka. Itu pun bukan untuk mengubah konsep pariwisata Labuan Bajo. Melainkan hanya menambah fasilitas halal, untuk memperlebar market share.

Hal itu disampaikan Kepala Seksi Pemasaran Dinas Pariwisata Manggarai Barat Frans Nambut, Jumat (10/5). Menurutnya, sosialisasi itu melibatkan industri dan para pengusaha pariwisata. Tujuannya membuka kemungkinan pengusaha menambah fasilitas halal, yang punya prospek dengan produk Labuan. Bajo.

“Sebenarnya, ide awalnya memang dari kami. Dari Seksi saya. Tapi bukan untuk mengubah konsep pariwisata. Tidak ada niat itu. Kita mau memberikan extended service kepada wisatawan yang punya kebutuhan berbeda,” paparnya.

Lebih lanjut dijelaskan, ide yang dilontarkan adalah keinginan pihaknya untuk memberi informasi pada pelaku usaha. Bahwa, wisatawan Muslem Friendly juga bisa dilayani dengan baik di Labuan Bajo.

“Kita tidak tahu kenapa jadi seperti itu. Jadi berubah informasinya. Kita hanya mau identifikasi (pengusaha pariwisata) kira-kira yang bersedia memberi layanan seperti itu siapa saja. Karena yang kita undang kalangan pengusaha saja. Bahwa kalau mereka bersedia, ada kebutuhan-kebutuhan khusus,” katanya meluruskan.

Bahkan, Frans menegaskan jika ia tidak berkomunikasi dengan Kementerian Pariwisata. Tidak melibatkan Kemenpar.

“Sebetulnya saya tidak pernah berkomunikasi dengan teman-teman Kemenpar. Ini hasil diskusi dengan BOP. Sebenarnya saya sedang mencari. Artinya begini, walaupun kecil saya juga pedagang. Biasanya, kalau berdagang, dan kebetulan saya kepala seksi pemasaran, untuk melayani kebutuhan wisatawan kita melihat pasar. Kira-kira pasar ini kebutuhannya apa. Kita tidak merubah apapun, tapi ada extended servive. Jadi untuk mengubah konsep tidak,” tegasnya.

Frans pun memberikan contoh. Misalnya hotel menyediakan arah kiblat, fasilitas mihs. Hanya melengkapi. Tidak melabeli Labuan Bajo jadi wisata halal.

“Sekali lagi kita melihat ini ada pasar. Lalu kita tawarkan pada pengusaha yang mau memberi layanan itu. Jadi, tidak ada regulasi yang kami siapkan untuk itu. Sama saja dengan kami melatih kurang lebih 3-4 tahun lalu. Saat kami mengidentifikasi karakteristik wisatawan dari Asia Timur. Wisatawan China itu kira-kira seperti apa? Korea dan sebagainya. Menurut saya kurang lebih seperti itu. Jadi sampai sekarang, toh Labuan Bajo tidak menjadi (wisata) China. Jadi hanya extended service,” tuturnya.

Frans juga memberi contoh lain. Seperti mal yang menyediakan aksesoris Natal saat perayaan Natal. Kemudian pas lebaran, ada ketupat, ada pohon kurma. Hal itu tidak lantas mengubah mal menjadi masjid atau gereja.

“Jadi kurang lebih idenya seperti itu. Jadi menurut saya, ide pribadi. Kami diskusikan dengan BOP, kok tanggapannya luar biasa,” terangnya.

Ia pun memberikan acungan jempol buat respons BOP.

“Saya tetap mengapresiasi responnya. Kami belum pada tataran meminta, tapi masih berdiskusi. Artinya begini, buat saya extended service kami tawarkan pada pelaku usaha yang bersedia,” jelasnya.

Frans menegaskan tetap mendukung ekowisata berbasis masyarakat di Labuan Bajo. Ia menegaskan punya tugas untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan. Itu akan tetap dipertahankan.

“Budaya Manggarai terlalu luhur untuk digantikan. Jadi menurut saya jika ditabrakkan antara ekowisata, budaya dengan yang kami tawarkan dalam extended service itu, itu dua hal yang tidak bisa ditabrakkan. Itu dua hal yang berbeda,” tegasnya.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here