www.INDONESIATRAVEL.NEWS, BANDAR LAMPUNG – Jurus-jurus sakti kembali diperlihatkan Kementerian Pariwisata di arena Rakor Pemberian Dukungan Pengembangan Destinasi Area Sumatera III dan IV di Swiss Bell Hotel, Lampung, Jumat (8/2). Provinsi dan Kabupaten/Kota asal Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu serta Lampung langsung diajak garap desa wisata.

Lantas mengapa harus desa wisata? Apa benefit yang bisa didapat? Apa bisa menghasilkan income yang wah bagi masyarakat desa?

Benefitnya ternyata banyak. Dari keuntungan materi hingga non materi, semua ada.

“Kalau suatu desa menjadi desa wisata, saya jamin nggak ada urbanisasi besar-besaran ke kota,” kata Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Pariwisata, Vitria Ariani saat menjadi pembicara di Rakor Pemberian Dukungan Pengembangan Destinasi Area Sumatera III dan IV di Swiss Bell Hotel, Lampung, Jumat (8/2).

Manfaat lainnya, tidak membutuhkan cost yang besar. Modal yang dibutuhkan relarif sedikit.

“Gambarannya kira-kira begini. Kalau dibuat Desa Agro makan biayanya pasti besar. Ada pembelian bibit, biaya pengurusan. Belum lagi waktu yang lama untuk memanen. Makanya, paling cepat dan paling murah adalah menjadi Desa Wisata,” papar wanita yang juga pendiri Binus University Cultural and Tourism Research itu.

Keuntungan lainnya, desa sudah mempunyai nilai yang bisa dikemas menjadi wisata. Itu bisa didapat dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

“Saya selalu memakai prinsip see, feel and explore. Coba lihat orang kota yang datang ke desa. Pasti dia akan melihat suasana yang rindang dan hijau, lalu merasakan suasana yang tenang dan udara yang sejuk. Kemudia melihat orang membajak sawah yang basah-basahan di lumpur bersama kerbau. Itulah suatu value yang bisa dikemas dan dijadikan atraksi wisata,” paparnya.

Soal budaya, Ria berujar betapa beruntungnya Indonesia memiliki budaya yang beragam di tiap desa. Budaya yang tiada dua dan masih terjaga baik, serta jadi nilai jual untuk wisatawan.

Contohnya? Ada banyak. Dari mulai daratan Jawa hingga Bali, semua ada. Di Sukoharjo, ada Desa Wirun yang sudah dijadikan pilot project oleh Kemenpar. “Di sana wisatawan bisa mendengar bunyi-bunyi gamelan karena masyarakatnya yang sudah dari dulu membuat gamelan. Saat membuat gamelan, mereka akan mencoba gamelan dengan membunyikannya. Wisatawan bisa mendengar suara-suara gamelan yang indah. Bayangkan, di suatu desa yang tenang yang rindang dan dihiasi suara gamelan,” papar wanita yang akrab disapa Ria itu.

Di Bali, ada Desa Blimbingsari. Itu adalah desa yang masyarakatnya menganut Protestan. Di zaman dulu, masyarakatnya selalu dikucilkan oleh orang-orang Bali. Sekarang, justru dirangkul dan hidup damai dengan panganut agama Hindu di Bali. “Itu ada sejarahnya dan sekarang jadi cerminan desa toleransi antar umat beragama. Sejarahnya sangat menarik,” tambahnya.

Belum lagi pesona Desa Penglipuran, Banjar Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Desa Wisata yang satu ini memang unik. Keren. Bersih. Artistik. Di 2016 silam, Desa ini masuk ke dalam kelompok desa-desa terbaik dunia. Namanya sejajar dengan Desa Giethoorn di Belanda serta Mawlynnong di India.

Dari mulai kebersihan hingga keharmonisan masyarakatnya, Penglipuran dianggap sangat fantastis. Budaya dan hubungan kekerabatan, kekeluargaan, antar-anggota masyarakat di desa itu fantastis, khas Indonesia yang hidup rukun, damai, saling hormat dan penuh toleransi.

“Indonesia punya 75 ribu desa. Dari jumlah tersebut kita menargetkan untuk mengembangkan sekitar 2000 desa untuk menjadi desa wisata mandiri. Income yang didapat bisa ratusan juta per bulan. Jadi kalau mau sejahtera, ayo kita garap desa wisata,” ajak Ria.

Menpar Arief Yahya pun seirama. Dia bahkan tak segan memberikan tips-tips untuk mengembangkan desa wisata. “Untuk mengembangkan wisata pedesaan di desa-desa wisata diperlukan konsep low-cost tourism (LCT). Melalui konsep LCT ini kita ingin menjadikan pariwisata sebagai sebuah basic needs. Dengan begitu, harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Caranya, kita harus menciptakan attraction, access, dan accomodation (3A) yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas (excess capacity) yang ada,” ucapnya.

Sementara, untuk mewujudkan accomodation yang murah dan mudah, terobosannya bisa disiapkan dengan membangun homestay (rumah wisata) sebanyak mungkin di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air. “Murah karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau karena dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Dengan inisiatif ini, kita berambisi untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia,” ucapnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here